Majalengka - KH.Abdul Halim semasa kecil bernama Mohamad Sjatari Beliau lahir di Desa Sutawangi, Kecamatan Jatiwangi Majalengka pada hari sabtu pon 25 Syawal 1304 H / 17 Juni 1887 M beliau Merupakan putra ke delapan dari pasangan KH. Muhamad Iskandar (Penghulu kewadanaan jatiwangi) Bin Abdulah Qomar Bin Tb Nursalim Bin Sultan Muhamad Arif Zainal Asiqin terus ke atas sampai dengan Bin Sultan Ageng Tirtayasa (Abdul Fattah) terus ke atas sampai dengan Bin Maulana Hasanuddin Bin Syaikh Syarif Hidayatulloh (Sunan Gunung Jati) Terus ke Atas sampai dengan Bin Sayidina Husein Assibti Bin Sayidah Fatimah Azzahro Binti Muhammad Rosululloh SAW. Dari jalur Ibu beliau adalah Hj Siti Mutmainah Binti KH. Mohamad Ilyas, Bin K.H. Hasan Basri Bin Imam Safari. KH. Abdul Halim mempunyai istri bernama Siti Moerbiyah dan mempunyai 7 anak - Thoha Halim - Fatimah Halim - mahriyah Halim - Aziz Halim - Halimah Halim - Karim halim - Taufiq Halim.
Baca juga:
Zainal Bintang: Dimana Itu Kearifan Lokal?
|
Pada saat Proklamasi Hari Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 KH Abdul Halim berusia 58 tahun. Pada saat itu Ir Soekarno atau Bung Karno berusia 44 tahun. Perbedaan usia 14 tahun tidak menjadi halangan untuk menjalin persahabatan antara para perintis kemerdekaan, lebih-lebih dalam sidang sidang2 Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945.
Kedekatan antara KH Abdul Halim dengan Bung Karno kami nyatakan dalam kutipan sidang BPUPKI pada Arsip Nasional tanggal 1 Juni 1945 pada saat Ir. Soekarno berpidato. Beliau mengatakan “jikalau umpamanya kita pada saat sekarang ini diberikan kesempatan oleh Dai Nippon untuk merdeka maka dengan mudah Gunseikan diganti dengan orang yang bernama Condro Asmoro atau Somobutyo diganti dengan orang yang bernama Abdul Halim.”
Pada sidang itu menurut Arsip Nasional bahwa yang Bernama Abdul Halim hanya satu yaitu Abdul Halim perwakilan dari Perikatan Oelama Cirebon Yang duduk di baris ke 3 Meja Sidang.
Gunsaikin pada masa penjajahan jepang adalah sebagai seorang kepala pemerintahan militer yang akan di berikan ke Condro asmoro Dan sebagai Somobutyo adalah sebagai Departemen dalam negeri yang akan di amanahkan kepada KH Abdul Halim.
Dalam hal keummatan KH Abdul Halim mengedepankan 8 konsep perbaikan Ummat yang di kenal dengan islahu tsamaniyah dengan urutan perbaikan nya sebagai berikut
1. عقيدة إصالح Perbaikan `Aqidah
2. عبادة إصالح Perbaikan Ibadah
3. التربية إصالح Perbaikan Tarbiyah
4. ئلة العا إصالح Perbaikan Rumah Tangga
5. العادة إصالح Perbaikan Adat Istiadat
6. األمة إصالح Perbaikan Ummat
7. اإلقتصاد إصالح Perbaikan Ekonomi
8. المجتمع إصالح Perbaikan Masyarakat
Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yang gemar belajar. terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri. K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tidak pandang apakah yang menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tidak, asalkan dapat bermanfaat bagi perjuangannya kelak.
Hal itu terlihat ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.
Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat.
Di antara pesantren yang pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim adalah:
• Pesantren Lontang jaya, Panjalinan lor, Sumberjaya, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
• Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
• Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kuningan, Kabupaten Kuningan, asuhan K.H. Ahmad Shobari.
• Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus, Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan, kabupaten Kuningan.
Di sela-sela kesibukannya belajar di pesantren, Kiai Halim menyempatkan dirinya untuk berdagang. Ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama.
Belajar di Mekkah
Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan untuk pergi ke Mekkah untuk melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram.
Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yang kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yang berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran.
Selain belajar langsung kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya. Selain itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas tentang pemikiran kedua ulama tersebut.
Pesantren Santi Asrom
Perserikatan Ulama Indonesia/ Persatuan Umat Islam
Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia untuk mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut.
Baca juga:
Dr.Hidayatullah, Alumni ke-39 PDIE Unila
|
Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.
Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan tahun 1912 tersebut tidak hanya bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian. Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai tetapi juga para petani dan pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan.
Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yang diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.
Persaingan tersebut memuncak ketika pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko milik orang Cina yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan segala kegiatannya.
Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim memutuskan untuk kembali ke Majlis Ilmi untuk tetap menjaga kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.
Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yang ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin.
Lembaga pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan bagi yang sudah mencapai kelas tinggi akan menerima pelajaran bahasa Arab.
Setahun kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia).
Perserikatan tersebut memiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu, Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tidak hanya dibekali dengan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tetapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.
Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan. Organisasi keagamaan yang dibolehkan berdiri hanya Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun dibekukan. Namun, Abdul Halim tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti menjadi Perikatan Oemat Islam (POI).[butuh rujukan]Pada tanggal 5 April 1952 di Kota Bogor diadakan rapat tentang penggabungan antara Persatuan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam Indonesia. Akhirnya kedua organisasi ini disatukan menjadi Persatuan Ummat Islam dan Abdul Halim dipilih sebagai ketua pertamanya.
Persatuan Umat Islam (PUI) memiliki tujuan pokok antara lain:
1. Memajukan dan menyiarkan pengetahuan dan pengajaran agama Islam.
2. Memajukan perihal penghidupan yang didasarkan atas hukum Islam.
3. Memelihara tali percintaan dan persaudaraan yang kuat dan membangunkan hati supaya suka tolong menolong antara satu dengan lainnya.
PUI melakukan beberapa upaya untuk mewujudkan tujuannya tersebut, di antaranya adalah:
1. Mendirikan dan memelihara sekolah.
2. Menerbitkan, menyiarkan, dan menjual buku-buku (kitab-kitab), brosur, majalah, dan surat kabar yang berisi tentang keislaman.
3. Meningkatkan pertanian perdagangan dan perekonomian lainnya.
4. Mendidik pemuda sebagai kader muslim masa mendatang.
5. Bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan Agama Islam.
Pergerakan Nasional
Abdul Halim merupakan salah satu dari enam tokoh muslim yang bergabung dalam salah satu badan penasihat Gunseikan, Cuo Sangi In. Badan ini memiliki anggota berjumlah 43 orang.
Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.
Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua yang dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim aktif membantu kebutuhan logistik bagi pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.
Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada 1937 di Surabaya.
Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, sebagai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga merupakan salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.
Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.
Atas kehendak Alloh SWT pada hari senin jam 15.05 tanggal 3 dzulhijjah 1381 H atau bertepatan dengan 7 Mei 1962 di Pondok Mufidah Santi Asromo perjuangan Mbah Halim telah tuntas dengan kembalinya beliau ke haribaan yang maha kuasa Alloh SWT. Beliau di makamkan di Komplek Pemakaman Keluarga Pondok Mufidah Santi Asromo Desa Pasirayu Kecamatan SIndang Kabupaten Majalengka.
Pemerintah mengapresiasi perjuangan dengan memberikan Bintang Mahaputra Utama dan gelar Pahlawan Nasional yang disampaikan oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta berdasarkan SK Presiden no /TK/2008 (6 November 2008).
Satu Pesan yang beliau tuliskan 2 tahun sebelum beliau wafat yang tertulis di pusara beliau ”Kami Pesankan kepada sekalian yang akan melanjutkan perjuangan utamakanlah ramah tamah budi perangai kepada sekalian manusia terutama kepada ummat islam” menurut salah satu cucu keturunan keluarga KH.Abdul Halim yaitu Haji Asep Zaki Mulyatno sebagai Ketua Umum DPD PUI Majalengka saat dikonpirmasi. AW (***)